Prioritaskan Rehabilitasi Lahan Kritis



BANJARMASIN
- Kerusakan hutan yang terjadi di Kalsel terus menjadi sorotan. Degradasi hutan terjadi akibat penebangan dan alih fungsi lahan dalam 10 tahun terakhir. Data Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Kalsel mencatat bahwa hutan Kalsel seluas 1,8 juta hektar saat ini hanya tersisa 40 persen. Kondisi ini membuat intensitas banjir dan kebakaran hutan Kalsel tiap tahun makin meningkat.
Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Suhardi Atmoredjo mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan upaya rehabilitasi hutan. Tahun ini, dinas yang berkantor di Banjarbaru tersebut mendapatkan suntikan dana reboisasi untuk melakukan rehabilitasi hutan seluas 650 hektar. Dari luas tersebut akan dibagi ke beberapa titik antara lain Tahura Sultan Adam dan suaka marga satwa yang berlokasi di dua kabupaten yakni Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru.
“Untuk Tahura Sultan Adam akan mendapatkan rehabilitasi seluas 250 hektar, sisanya akan digunakan untuk merehabilitasi hutan suaka marga satwa di Tanah Bumbu dan Kotabaru,” kata Suhardi kepada sejumlah wartawan, baru-baru tadi.
Suhardi menambahkan, minimnya dana reboisasi yang diberikan membuat luas hutan yang direhabilitasi tiap tahunnya sangat sedikit. Hal ini membuat pihaknya harus pandai melihat hutan mana yang paling layak mendapatkan rehabilitasi.
“Tentu kita harus melihat mana yang paling memerlukan, otomatis diprioritaskan bagi hutan yang paling kritis,” cetusnya.
Diterangkan Suhardi, dana reboisasi yang diterima daerah penghasil kayu dari hutan tanaman industri memang sangat kecil yakni hanya 40 persen. Sedangkan pemerintah pusat mendapatkan 60 persen. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi.
“Dana reboisasi yang diterima tiap tahun memang tidak bisa diprediksi, yang jelas dana reboisasi yang diterima daerah kecil hanya 40 persen, padahal ada 60 ribu batang pohon yang ditebang tiap tahunnya,” ungkap Suhardi.
Sebelumnya, BLHD Provinsi Kalsel juga menyoroti kerusakan hutan terutama di Pegunungan Meratus. Kepala BLHD Kalsel Rachmadi Kurdi menilai, kerusakan Pegunungan Meratus sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam 10 tahun terakhir, kerusakan Meratus makin parah. Hal ini dapat dilihat dari data satelit rupa bumi yang menunjukkan adanya pengurangan lahan hutan selama tahun 1997-2007 sebanyak 50 persen. Artinya, ada sekitar 50 persen lahan hutan yang saat ini telah beralih fungsi baik sebagai lahan pertambangan maupun perkebunan.
Setidaknya, kerusakan Meratus terparah terjadi di 3 kabupaten antara lain Tanah Bumbu, Tanah Laut, dan Kotabaru. Kabupaten yang berada di daerah Banua Anam juga tak luput dari kerusakan Meratus.
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel dalam siaran pers menyambut Hari Lingkungan Hidup juga menyoroti tentang kerusakan hutan di Kalsel. Manajer Kampanye Walhi Kalsel Dwitho Frasetiandy mengatakan, total perijinan baik lahan pertambangan maupun perkebunan mencapai 2,5 juta hektare. Padahal luas daratan Kalsel hanya 3,7 juta hektare. Data tersebut menunjukkan betapa hutan Kalsel yang hanya 1,8 juta hektare ikut menjadi sasaran pertambangan dan perkebunan.
Dampak dari kerusakan hutan menurut aktivis yang akrab disapa Andi ini sangat terlihat pada tahun 2010. Tahun lalu telah terjadi 68 kali banjir yang menyebabkan lebih dari 15.431 hektare persawahan yang terendam banjir dan 3.591 hektare diantaranya mengalami puso.
Tercatat 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel merupakan daerah langganan banjir dan tanah longsor setiap tahunnya. Sebanyak 82 kecamatan yang terdiri dari 550 desa terendam banjir, daerah tersebut meliputi Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Barito Kuala, Tanah Laut, dan Kotabaru. Kabupaten Hulu Sungai Utara, Banjar, dan Tanah Bumbu merupakan daerah paling rawan terhadap ancaman bencana ini. Sepanjang tahun 2010, korban bencana alam ini mencapai 249.919 jiwa keluarga dengan taksiran kerugian hampir Rp 50 miliar. (tas)