Disebutkan, ”Kewenangan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri berada di tangan Presiden yang pelaksanaannya diserahkan kepada Menteri Perindustrian”. Juga disebutkan, ”Pelaksanaan kewenangan pembinaan dan pengembangan industri tertentu diserahkan kepada menteri lainnya. Salah satunya: industri gula pasir dari tebu diserahkan kepada Menteri Pertanian”.
Jelas sekali tanggung jawabnya. Menperin mendorong dari sisi off farm kekuatan pabrik gula untuk meningkatkan produktivitas, sedangkan Mentan memperkuat dari sisi on farm ketersediaan tebu berkualitas sebagai bahan baku utama. Jangan diabaikan peran Menteri Kehutanan dalam penyediaan lahan untuk tebu, serta Menteri Perdagangan sebagai pengatur impor gula mentah ataupun rafinasi.
Implementasinya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jawa Barat Anwar Asmali mengatakan, ”Gampang kalau pemerintah hanya ingin meraih dalam angka. Bangun saja pabrik gula rafinasi. Impor gula mentah sebagai bahan bakunya. Tapi, jangan harap petani tebu bisa sejahtera.”
Revitalisasi mutlak dilakukan. Bukan sekadar tambal sulam. Apalagi, sekadar membeli mesin produksi gula secara impor. Karena itulah, untuk mendorong gerakan industri secara luas, Kementerian Perindustrian tidak sekadar membantu pembiayaan pembelian mesin pabrik gula, tetapi juga memperkuat dengan menyuntikkan modal bagi industri barang modal.
Tahun 2011, Kementerian Perindustrian mengalokasikan keringanan pembiayaan Rp 187,16 miliar untuk total investasi baru Rp 831,83 miliar. Bantuan pembiayaan diberikan untuk menyelamatkan industri gula dan swasembada tahun 2014. Cukupkah kita berhenti hanya menggapai swasembada?
Tidak demikian. Ketua Forum Industri Pengguna Gula Rafinasi Franky Sibarani menjelaskan, di dunia internasional, gula hanya dibedakan atas gula mentah (raw sugar) dan gula rafinasi, sementara Indonesia membedakan gula rafinasi dan gula konsumsi. Industri gula yang masuk program revitalisasi semestinya didorong untuk menghasilkan gula konsumsi berkualitas, sebagaimana dipahami dunia internasional dengan kadar keputihan (incumsa) tertentu.
Misalnya, gula mentah diproses di industri gula rafinasi. Hanya gula yang dihasilkan dengan incumsa 100-200 yang bisa dipasarkan untuk dikonsumsi, sementara incumsa 45 bisa disalurkan ke industri pengguna gula rafinasi.
Kalau hanya mampu menghasilkan gula kecokelatan, hasil produksi gula seharusnya tidak dipasarkan. Gula tidak hanya untuk memberikan rasa manis, tetapi juga higienis. Anehnya, di Indonesia, gula masih kecokelatan sudah dilegalkan untuk dipasarkan. Padahal, konsumen kini kian cerdas. (Stefanus Osa)