JAKARTA, KOMPAS - Setelah melalui pembahasan yang alot selama 3 tahun 7 bulan, DPR akhirnya menyetujui Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Selasa (16/12). UU tersebut mengakhiri era kontrak karya dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia yang sudah berjalan selama 41 tahun.
UU baru ini menggantikan UU Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967. Melalui UU yang baru ini, pengusahaan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin oleh pemerintah.
Perubahan bentuk pengelolaan menjadi perizinan menjadi hal paling krusial dalam perubahan aturan pertambangan. Sebagian besar fraksi di DPR mengapresiasi karena dengan izin, posisi negara ada di atas perusahaan pertambangan.
Kondisi ini yang tidak didapat dalam pola perjanjian kontrak karya. Perusahaan pertambangan berada dalam posisi sejajar dengan negara. Perubahan atas kontrak hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan kedua pihak.
UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) juga memperjelas desentralisasi kewenangan pengelolaan pertambangan. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan di wilayahnya.
Pertambangan rakyat
UU Minerba juga mengakui kegiatan pertambangan rakyat dalam suatu wilayah pertambangan. Hal krusial lainnya menyangkut upaya meningkatkan nilai tambah dari bahan tambang dengan mewajibkan perusahaan tambang yang sudah berproduksi untuk membangun pabrik pengolahan di dalam negeri.
Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Setiawan mengakui, UU baru itu kemungkinan akan mengubah rencana investasi perusahaan tambang yang semula berharap masih bisa memperoleh bentuk pengelolaan kontrak karya.
Namun, ia menyatakan yakin secara keseluruhan UU baru ini tetap memberi kepastian investasi. Pihaknya, harus segera menyelesaikan peraturan pemerintah agar UU Minerba bisa segera diimplementasikan dan tidak terjadi kevakuman.
Pembahasan RUU Minerba berjalan cukup alot terutama menyangkut isu bentuk pengusahaan pertambangan dan aturan peralihan.
Semula selain bentuk izin, Fraksi Partai Golkar juga mengusulkan opsi pengelolaan mirip kontrak karya dengan nama Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP).
Apabila PUP diakomodasi, pemerintah harus membentuk badan pengelola pertambangan untuk mewakili pemerintah dalam melakukan perjanjian kontrak dengan perusahaan.
Namun, sehari menjelang penutupan pembahasan di Panitia Khusus, pekan lalu, Fraksi Partai Golkar akhirnya bersedia menarik usulan tersebut.
Adapun terkait isu aturan peralihan, sejak awal pemerintah berkeinginan agar semua kontrak karya maupun perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang telah ada sebelum RUU pertambangan diajukan, tetap dihormati.
Sementara F-PDIP dan F-PAN menginginkan semua kontrak karya dan PKP2B mengikuti UU baru. Jalan tengah yang disepakati adalah adanya ketentuan peralihan.
Namun, perbedaan pandangan atas ketentuan peralihan ini pula yang menyebabkan persetujuan UU Minerba dalam sidang paripurna DPR kemarin diwarnai walk out oleh anggota F-PAN dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.
Ikut menolak
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang dalam pandangan akhirnya semula menyatakan setuju atas UU tersebut, akhirnya ikut menyatakan penolakan.
Pokok persoalan yang dipermasalahkan F-PAN dan F-PKB adalah ketentuan peralihan yang diatur dalam Pasal 169 yang terdiri atas bagian a, b, dan c.
Pasal 169 bagian a menyatakan Pada saat undang-undang ini mulai berlaku maka kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
F-PAN menilai pasal itu menunjukkan UU Minerba bersifat diskriminatif. ”Perusahaan-perusahaan baru dikenakan pembatasan yang sangat ketat, sementara perusahaan lama yang sangat eksploitatif diberi insentif untuk tetap melakukan kegiatan penambangan sampai masa kontrak berakhir,” ujar Wakil Sekretaris F-PAN Zulkifli Halim.
F-PAN terutama merujuk pada pelanggaran lingkungan yang dilakukan perusahaan pemegang kontrak karya besar, seperti Freeport.
Anggota F-PAN, Dradjad Wibowo, mengatakan, Pasal 169 bagian a dapat diinterpretasikan memberikan perlindungan kepada perusahaan kontrak karya yang ada saat ini.
Interpretasi atas Pasal 169 a, kata Dradjad, bisa menyebabkan Pasal 169 b menjadi mandul. Pasal 169 bagian b menyebutkan, ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya satu tahun sejak undang-undang ini diundangkan, kecuali mengenai penerimaan negara.
F-PKS ikut menyatakan menolak setelah mendapati penjelasan Pasal 169b dalam rancangan terakhir tidak masuk di dalam UU.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyatakan, bagaimanapun juga posisi kontrak karya yang telah ada harus dihormati. ”Tetapi, mereka (perusahaan kontrak karya) juga akan mengikuti aturan-aturan baru dalam kontrak karya,” kata Purnomo.
Namun, ditanya apakah kewajiban mengikuti aturan itu berlaku otomatis atau harus melalui pembicaraan dengan setiap perusahaan pemegang kontrak karya, Purnomo mengatakan, masih akan dilihat lebih jauh.