KOMPAS.com - "Waduh nak, nanti aja ya belinya ya.., sekarang lagi tanggung bulan ni..," Kalimat tersebut terkesan akrab di telinga kita. Ya, memang akrab bukan karena kita suka menggunakan kalimat itu namun kita terpaksa mengeluarkan kalimat tersebut. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa pemasukan atau gaji yang kita terima ternyata hanya mampu "menghidupi" kita selama 20 hari atau bahkan kurang dari itu dalam sebulan.
Ya, ini adalah fakta yang terjadi, sering kali kita merasa gaji belum cukup, masih kurang, jangankan untuk ditabung atau investasi, memenuhi keinginan kita saja masih kurang, ya sekali lagi masih kurang!.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah berapa besar gaji yang wajar bagi kita? Pembaca yang bijak, untuk menjawabnya alangkah baiknya jika kita melakukan evaluasi dan introspeksi secara jujur, untuk itu silahkan untuk menjawab beberapa pertanyaan dibawah ini dan catatlah hasilnya:
Bagi anda yang menjawab ‘ya’ maka langkah selanjutnya adalah lakukan valuasi penghasilan anda, dalam melakukan valuasi, jawabannya hanya ada tiga kelompok, yakni:
Tahapan yang buruk (Poor Income Valuation): adalah tahapan dimana kondisi total pengeluaran lebih besar dari penghasilan atau dikenal dengan istilah "Besar Pasak dari Tiang", dalam kondisi ini arus kas menjadi defisit atau negatif disertai dengan bobot cicilan hutang perbulan diatas 45 persen dari total penghasilan. Perhatikan contoh berikut (tabel 1):
No | Uraian per bulan | Besarnya | Bobot VS Pendapatan |
1 | Penghasilan Bersih (saat ini) Take home pay | Rp 8,000,000 | 86.49% |
2 | Pengeluaran (diluar cicilan utang) | Rp 5,000,000 | 54.05% |
3 | Cicilan utang | Rp 4,250,000 | 45.95% |
4 | Total pengeluaran = 2+3 | Rp 9,250,000 | 100.00% |
5 | Surplus (defisit) pengeluaran = 1 – 4 | Rp (1,250,000) | -13.51% |
6 | Surplus (defisit) cicilan utang = (1*30%) – 3 | Rp (1,850,000) | -23.13% |
Dalam contoh kasus diatas terlihat bahwa: 1. Pengeluaran (defisit) Rp 1.250.000. 2. Cicilan utang melebihi batas wajar maksimal per bulan yakni defisit Rp 1.850.000 atau berlebih sebesar 23,13 persen dari batas maksimal cicilan utang yakni 30 persen atau sebesar Rp 2.400.000.
Ini berarti bahwa, pada kasus tersebut, yang bersangkutan berpotensi untuk menutupi defisit (kekurangan) dengan cara menambah utang. Hmm.., berpotensi untuk ‘gali lubang tutup lubang’, awas hati-hati jika kebesaran lubangnya akan mudah untuk terjerumus!. Utang tersebut biasanya didapat dari Kartu Kredit, Kredit Tanpa Agunan (KTA) atau dengan jenis utang yang lain. Cara tersebut sangat berbahaya dan tidak dapat dibenarkan.
Saya katakan bahwa kondisi dan kebiasan ini wajib dihentikan, stop sesegera mungkin. Saran saya adalah sebaiknya pada kondisi ini segera minta bantuan dana, ingat bantuan dan bukan pinjaman untuk jangka waktu yang pendek. Atau usahakan untuk melakukan pinjaman lunak jangka panjang, kelak akan dikembalikan jika telah ada kemampuan.
Jaminan pinjaman tersebut apa? jika ada properti bisa dilakukan jaminan namun jika tidak ada apapun maka satu-satunya cara adalah jaminan pribadi (diri sendiri), ini bisa dilakukan dengan menghubungi dari relasi ataupun keluarga yang sangat dekat.
Nah kiat anda pun harus jelas, dalam waktu bersamaan sebelum anda meminjam atau meminta bantuan, anda juga harus mencari solusi dengan tujuan agar terjadi peningkatan income hal itu dapat dilakukan dengan cara:
a) Walaupun anda masih bekerja, anda wajib untuk mencari pemasukan tambahan (melalui usaha dengan modal pinjaman kepada relasi atau keluarga terdekat tersebut) lakukan studi kelayakan yang akurat dan objektif agar potensi keberhasilan usaha anda menjadi lebih besar dari kemungkinan gagalnya;
b) Berupaya agar gaji bertambah dengan cara pindah bekerja atau melakukan kerja yang lebih giat lagi (utamanya bagi tenaga penjual atau salesman) sehingga komisi atau bonus bertambah;
c) Menekan pengeluaran rutin (melakukan efisiensi) dengan ketat;
d) Jangan lupa melakukan manajemen resiko melalui asuransi jiwa dengan memiliki Uang Pertanggungan yang cukup untuk mengembalikan pinjaman tersebut (ingat kematian pasti akan datang, namun tidak diketahui waktunya);
e) Sebagai masukan adalah asuransi jiwa tipe YRT (Yearly Renewable Term) bukan yang lain, sebagai contoh seorang pria tidak merokok usia 35 tahun, uang pertanggungan Rp 500 juta, kisaran premi pada asuransi YRT per tahun adalah sebesar Rp 1,5 juta hingga Rp 1,75 juta.
Selanjutnya, anda wajib mengubah menuju tahapan yang wajar, berikut penjelasannya:
Tahapan yang wajar (Fair Income Valuation): adalah kondisi dimana anda tidak defisit, besar cicilan utang masih berada diatas 30 persen dari pendapatan, namun yang bersangkutan mampu untuk melakukan investasi demi kesejahteraan dia dan keluarganya kelak, porsi investasi minimal adalah sebesar 10 persen dari penghasilan. Kemudian adalah bagaimana kita mengubah dari kondisi yang buruk (poor income valuation) menjadi kondisi yang wajar (fair income valuation), nah untuk kasus diatas berapa besar income yang wajar tersebut?, berikut adalah formulasi valuasi penghasilan wajar, yakni:
Total pengeluaran dalam kondisi defisit / 90 persen
Mengapa pembagi harus 90 persen? Hal ini disebabkan karena untuk mencapai zona kebebasan finansial atau anda menjadi lebih kaya maka wajib menyisihkan penghasilan minimal 10 persen dan ditempatkan pada investasi yang tepat serta yang bersangkutan juga harus menjaga cicilan utang terus menurun hingga makin mendekati batasan maksimal 30 persen dari pendapatan anda.
Sehingga contoh kasus (tabel 1 diatas) penghasilan menjadi Rp 10.277.777. Atau untuk jelasnya silahkan perhatikan tabel berikut
Tabel 2:
Valuasi Penghasilan Wajar (saat nanti) | Besarnya | Bobot VS Pendapatan | |
7 | Pendapatan Bersih Wajar | Rp 10,277,777 | 100.00% |
8 | Dana yg di Investasikan (wajib) | Rp 1,027,778 | 10.00% |
9 | Pengeluaran (diluar cicilan utang) | Rp 5,000,000 | 48.65% |
10 | Cicilan utang | Rp 4,250,000 | 41.35% |
11 | Total pengeluaran = 8+9+10 | Rp 10,277,778 | 100.00% |
12 | Surplus (defisit) pengeluaran = 7 – 11 | Rp (0) | 0.00% |
13 | Surplus (defisit) cicilan utang = (7*30%) – 10 | Rp (1,166,667) | -11.35% |
Analisa: dari tabel terlihat bahwa defisit sudah nol dan cicilan utang menurun dari bobot terhadap penghasilan dari 45,95 persen menjadi 41,35 persen. Kondisi ini sudah lebih baik walau belum menjadi tahapan yang ideal (Ideal Income Valuation).
Tahapan terakhir adalah Tahapan yang ideal (Ideal Income Valuation): pada tahapan ini individu/keluarga tersebut sudah berada pada koridor keuangan yang sehat, yakni sesuai tabel:
Tabel 3:
Valuasi Penghasilan Ideal (saat nanti) | Besarnya | Bobot VS Pendapatan | |
14 | Pendapatan Bersih Ideal | Rp 19,166,667 | 100.00% |
15 | Dana yg di Investasikan (wajib) | Rp 1,916,667 | 10.00% |
16 | Pengeluaran (diluar cicilan hutang) | Rp 5,000,000 | 26.09% |
17 | Cicilan hutang | Rp 4,250,000 | 22.17% |
18 | Total pengeluaran = 15+16+17 | Rp 11,166,667 | 58.26% |
19 | Surplus (defisit) pengeluaran = 14 - 18 | Rp 8,000,000 | 41.74% |
20 | Surplus (defisit) cicilan hutang = (14*30%) - 17 | Rp 1,500,000 | 7,83% |
21 | Dana yang di Investasikan (tambahan) | Rp 8,000,000 | 41.74% |
Pada contoh kasus ini penghasilan yang defisit sebesar Rp 8.000.000,- harus diperbesar menjadi surplus dalam kisaran Rp 10.277.777 hingga Rp 19.166.167 agar yang bersangkutan dapat menjadi bertambah kaya di kemudian hari.