> INGAT SUKARNO.
>
> (Sebuah “memoar ecek-ecek”).
>
> Pada tanggal 6 Juni 2011 ini mestinya Sukarno memperingati hari
> lahirnya yang ke-110. Tetapi tentu saja itu tak terjadi. Selain langka
> sekali mencapai usia sepanjang itu, bahkan usia 70 pun tak dicapai
> Sukarno. Dia meninggal 21 Juni 1970, dua minggu satu hari setelah
> ulangtahunnya yang ke-69. Kata orang, dia boleh dikatakan meninggal
> dalam keadaan “sansai”. Wajah dan tubuhnya bengkak-bengkak, sebagai
> pertanda kegagalan ginjalnya tak ditangani sebagaimana mestinya. Inna
> lillahi wa inna ilaihi raji’un. Dari Allah kita berasal dan kepadaNya
> pula semua akan kembali.
>
> Tetapi, hari ini, ketika saya sedang merenung-renung, saya ingat
> Sukarno dengan sangatnya. Bukan karena saya sesiapa, tetapi karena
> saya merasa – mungkin dengan sedikit GR – ada juga bagian-bagian dari
> perjalanan hidup saya yang terserempet oleh kehadiran Sukarno. Seperti
> pada hari Selasa, tanggal 15 Juni 1948 itu.
>
> Ketika itu saya baru berusia 10 tahun, duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat
> Seutui, Kutaraja (yang sekarang bernama Banda Aceh itu). Bersama
> kawan-kawan sesekolah, sejak pagi saya sudah dibariskan menuju ke
> tempat yang disebut “Keuraton”, sekitar 3 kilometer dari sekolah kami.
> “Keuraton”, “keraton”, nama yang bernuansa Jawa itu, adalah tempat
> kediaman kepala daerah, yang dikelilingi kantor-kantor pemerintahan.
> Keuraton adalah bangunan tinggalan pemerintahan kolonial Belanda,
> dengan deretan tiang-tiang yang masif di bagian depannya, lalu ada
> sebuah pendopo yang luas. Maka sebagai pengganti keuraton, orang
> sering juga menyebut “pendopo”, lagi-lagi sebuah nama bernuansa Jawa.
>
> Barisan dari sekolah kami segera bergabung dengan barisan-barisan dari
> sekolah lain, yang sudah menyesaki halaman keuraton. Masing-masing
> memegang bendera merah putih kecil-kecil. Kami diberitahu, kami akan
> menyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia, Sukarno. Kami tidak
> tahu betul, apa yang dimaksud dengan “presiden” itu. Kami tanya-tanya
> guru. Rupanya guru juga kurang mafhum. Maka dia bilang saja, “Ini yang
> datang adalah Raja Jawa.”
>
> Ternyata tamu-tamu yang terhormat itu baru mendarat di lapangan
> terbang Lho’ Nga selewat tengahhari. Jadi bayangkanlah, bagaimana kami
> disiksa oleh rasa lapar dan haus, karena sedari pagi sudah harus
> berada di keuraton. Lho’ Nga sendiri terletak 14 kilometer di arah
> selatan Kutaraja.
>
> Akhirnya muncul juga rombongan tamu-tamu yang ditunggu itu. Mereka
> melintas sekitar 3 meter dari tempat kami berdiri. Presiden Sukarno
> melambaikan tangan. Kami menyambut dengan mengibas-ngibaskan
> bendera-bendera kecil yang kami pegang. Seingat saya, tidak ada
> teriakan-teriakan atau apa (yang sekarang tentu disebut “yel” itu).
>
> Setelah rombongan menghilang ke dalam keuraton, barisan-barisan pun
> dibubarkan. Sambil merasakan kelaparan dan keletihan, kami kembali ke
> rumah masing-masing. Tentu saja dengan berjalan kaki. Tak ada
> fasilitas angkutan apa pun yang dapat diandalkan pada masa itu.
>
> Di kemudian hari, setelah bisa membaca sejarah, barulah saya tahu,
> salah satu keberhasilan Sukarno yang didapatnya dari kunjungan
> pertamanya itu adalah pengumpulan dana dari rakyat Aceh (berupa
> perhiasan emas atau semacamnya), sehingga dapat dibelikan sebuah
> pesawat Dakota/DC3, yang lalu diberi nama “RI-001 Seulawah”. Tetapi di
> samping itu, Sukarno juga meninggalkan jejak yang jadi penyebab luka
> berkepanjangan. Soalnya, manakala Gubernur Aceh Daud Beureueh
> mengajukan apel, supaya syariat Islam diberlakukan di daerahnya,
> Sukarno setuju. Ketika diminta menuliskan persetujuannya itu, Sukarno
> membalasnya dengan isakan tangis, karena merasa, ucapannya tidak
> dipercaya. Daud Beureueh akhirnya tidak sampai hati memaksa. Kelak
> kita saksikan, persetujuan itu tak pernah dituntaskan. Ini yang
> menjadi salah satu penyebab, mengapa lalu ada gerakan pembangkangan
> yang dipimpin oleh Daud Beureueh sendiri, dengan segala macam akibat
> ikutannya yang begitu berkeliuk berkelindan, sehingga Aceh “tersiksa”
> selama beberapa dekade.
>
> Pada tahun 1956, saya menamatkan ST, Sekolah Teknik, yang bermasa
> belajar 4 tahun. Saya ingin lanjutkan ke STM. Sekolah itu belum ada di
> Kutaraja. Di Medan ada. Tetapi saya ingin melanjutkan ke Jakarta saja.
> Ada paman saya – adik ibu – yang bisa menampung. Saya direncanakan
> berangkat dengan kapal laut, yang biayanya terjangkau. Dari Aceh, tak
> ada pelayaran seperti itu. Saya harus ke Medan dulu, lalu bertolak
> melalui Belawan. Di dapat kabar, dalam pelayaran menuju Tanjongpriok,
> kapal akan singgah dulu di Singapura. Tentu akan menyenangkan sekali,
> kalau bisa jalan-jalan di sana. Untuk itu diperlukan paspor. Maka saya
> urus paspor itu, sehari sebelum berangkat ke Medan. Ternyata bisa.
> Saya terkesan sekali dengan cara kerja petugas imigrasi itu. Tak
> terkesan sedikit pun dia mau mempersulit. Profesional sekali dia.
> Ketika harus mengisi kolom ciri-ciri khusus, dia memandangi wajah saya
> sejenak, lalu menuliskan “scar on the nose”. Memang, di pangkal hidung
> saya ada parut bekas cacar.
>
> Saya menumpang kapal “Oranje” dari KPM (Koningklijk Paketvaart
> Maatschappaij), sebuah perusahaan pelayaran Belanda. “Oranje” adalah
> sebuah kapal yang bercat putih seluruhnya, sebagai pertanda, bahwa
> kapal itu betul-betul hanya kapal penumpang. Berbeda dengan “Van
> Riemdijks”, misalnya, yang bercat hitam. Selain penumpang, kapal itu
> juga membawa kargo.
>
> Setelah berhenti sehari di Singapura, “Oranje” merapat ke pelabuhan
> Tanjongpriok pada hari Kamis, tanggal 16 Agustus 1956, lewat
> tengahhari. Maka dengan resmi saya “masup” Jakarta tanggal 16 Agustus
> itu.
>
> Jangan bayangkan keadaan Tanjongpriok seperti sekarang. Ada jalan
> penghubung yang lebar, baik untuk ke daerah kota atau ke Cawang. Pada
> waktu itu, satu-satunya jalan penghubung antara Tanjongpriok dan
> tempat-tempat yang lain adalah yang melalui Ancol, tetapi masih
> sempit, paling hanya untuk dua mobil. Kiri kanan jalan dipenuhi
> perairan yang berhutan bakau. Di belokan yang mengarah ke Gunung
> Sahari, dulu ada gardu listerik yang cukup besar.
>
> Karena rumah paman saya di Polonia, Jatinegara, maka kami pun melewati
> daerah Senen, Kramat, Salemba, Matraman, Kampung Melayu, Bidaracina.
> Saya hanya terlongo-longo, memperhatikan begitu sibuknya suasana dan
> begitu banyaknya manusia yang lalu lalang, jauh berbeda dari Kutaraja.
> Hampir sepanjang perjalanan itu pula kami selalu berserobok dengan
> trem listerik, yang tujuan akhirnya adalah Kampung Melayu (sekarang
> jadi terminal Kampung Melayu), tempatnya berputar, untuk kemudian
> kembali ke arah utara.
>
> Keesokan paginya, saya diajak ke Lapangan Merdeka (yang sekarang
> bernama Lapangan Monas itu). Tujuan kami adalah istana (tepatnya di
> seberang istana), untuk menyaksikan pidato 17 Agustus yang akan
> disampaikan Sukarno dari sebuah panggung di depan istana negara.
>
> Waktu itu, di lapangan yang berada di seberang istana itu masih banyak
> tumbuh pohon-pohon besar, yang disebut pohon ki hujan (regenboom),
> sangat rindang dan teduh. Di Lapangan Merdeka itu sendiri masih
> berdiri banyak bangunan lain. Tepat di seberang istana ada gudang
> perbekalan milik AURI. Di belakangnya, kira-kira berseberangan dengan
> gedung RRI sekarang, terdapat apa yang dikenal sebagai “hopbiro”
> (berasal dari “hoofdbureau van politie”), sebutan untuk markas
> kepolisian Jakarta Raya pada waktu itu. Ada pula stadion IKADA,
> kira-kira di perpotongan jalan Merdeka Timur dan Merdeka Selatan.
> Sementara di perpotongan jalan Merdeka Timur dan Merdeka Utara ada
> sebuah taman yang diberi nama “Taman Chairil Anwar”. Ada bangku-bangku
> batu di situ. Juga pohon-pohon yang disebut pohon kembang kertas. Kata
> orang, kalau malam hari, tempat itu jadi pangkalan perempuan-perempuan
> malam yang cari rezeki. Miris juga membayangkan, nama Chairil Anwar
> disandingkan dengan kegiatan semacam itu, walau dari sejarah hidupnya
> kita tahu, dunia itu bukanlah asing bagi dirinya.
>
> Walau pada waktu itu usia saya sudah 18 tahun, saya samasekali tidak
> ingat apa yang dipidatokan Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1956 itu.
> Dan itu juga merupakan kali pertama dan terakhir saya menyaksikan
> pidato 17 Agustus secara “live”.
>
> Ternyata, pengalaman pertama saya hidup merantau di Jakarta itu tidak
> bertahan lama. Bapak saya sakit-sakitan dan keluarga meminta saya
> segera kembali. Terpaksalah saya DO dari sekolah saya di STM Budi
> Utomo. (Waktu itu saya diterima langsung di kelas dua, sebagai semacam
> kompensasi dari ST saya yang 4 tahun itu. STM sendiri pada waktu itu
> juga berlangsung 4 tahun).
>
> Bulan Februari 1957 saya kembali ke rumah, melalui jalur laut juga.
> Saya menumpang kapal “Van Riemsdijks”, turun di Belawan. Dari Medan,
> saya naik Dakota ke Kutaraja.
>
> Kebetulan, tahun 1957 itu STM dibuka di kota saya. Guru-gurunya
> berasal dari rombongan PTM yang ditugaskan mengajar ke Aceh. PTM itu
> singkatan dari “Pengerahan Tenaga Mahasiswa”, semacam terobosan bagi
> kekurangan tenaga-tenaga pengajar untuk tingkat sekolah menengah atas.
> Beberapa perguruan tinggi menghimpun mahasiswanya yang sudah atau
> hampir selesai tingkat bakaloreat, lalu dikirimkan ke daerah-daerah
> yang membutuhkan. Mereka bertugas sekitar dua tahun. Lalu kembali ke
> kampus, untuk menyelesaikan tingkat doktoralnya. Sebagai kompensasi,
> jika mereka mau, akan dapat kemudahan diterima sebagai pegawai negeri.
> Rombongan PTM yang bertugas di kota saya mayoritas berasal dari Gajahmada.
>
> Maka saya pun masuk kembali ke STM, mengulang kembali dari kelas satu.
> Tetapi tidak merasa rugi betul, karena mulai sekarang, STM juga
> menjadi sekolah 3 tahunan. Saya selesai pada tahun 1960.
>
> Sementara itu, pemerintah daerah Aceh yang dipimpin Gubernur Ali
> Hasymy sibuk sekali hendak mewujudkan impian mereka : sebuah kompleks
> pendidikan lengkap yang berada di satu lokasi. Mereka menyebutnya
> sebagai “kota pelajar dan mahasiswa”, disingkat “kopelma”, dengan nama
> “Darussalam”.
>
> Semua itu akan dibangun di sebidang tanah yang cukup luas, bekas areal
> perkebunan kelapa, terletak di daerah Lampriek. Walau pun belum
> rampung secara menyeluruh, peresmiannya akan dilakukan pada hari Rabu,
> tanggal 2 September 1959, oleh Presiden Sukarno. Pada waktu itu, yang
> sudah ada barulah fakultas ekonomi.
>
> Kepala sekolah kami (bersama beberapa sekolah lain) ikut menjadi
> anggota panitia peresmian itu. Tugasnya adalah membangun sarana-sarana
> yang diperlukan serta mendekorasi secukupnya. Pada gilirannya, dia
> melimpahkan tugas itu kepada kami, para muridnya.
>
> Demikianlah saya dan kawan-kawan pun ikut terjun ke lapangan. Dan
> sebagai sudah menjadi tradisi, kami berbagi tugas dengan siswi-siswi
> dari SGKP “Meutia”. Ini hal yang sering menimbulkan “irihati” pada
> sekolah-sekolah lain, terutama dari SMA. Mereka kesal, kenapa
> siswi-siswi itu mau saja bekerja sama dengan “anak-anak sekolah
> tukang” semacam kami. Periode yang menyenangkan untuk dikenang.
>
> Lapangan tempat upacara dilangsungkan merupakan padang terbuka yang
> cukup panas. Belum ada pohon peneduh apa pun. Sementara puncak
> peresmian adalah pembukaan selubung sebuah tugu, yang tentu saja akan
> dilakukan oleh Presiden Sukarno. Maka didekat tugu ini perlu dibangun
> semacam pondok, tempat nanti presiden duduk, sekaligus berteduh dari
> sinar matahari. Pondok itu haruslah bernuansa hijau, sebagai kontras
> pada keadaan sekeliling. Maka diperlukan banyak hiasan dari
> pohon-pohon dan daun-daunan. Kami mencarinya sampai ke Lho’ Nga.
> Mengingat situasi, kami difasilitasi oleh tentara. Mereka yang
> mengantar kami ke tempat-tempat yang diperlukan.
>
> Subuh-subuh, pada hari upacara itu, ada hujan gerimis, tetapi kemudian
> berhenti. Hari menjadi cerah kembali. Matahari memancarkan sinarnya
> dengan sempurna. Dan bayangkanlah akibatnya.
>
> Untuk berjaga-jaga terhadap segala kesukaran teknis yang bisa saja
> muncul dengan tiba-tiba, saya ditugaskan untuk selalu berada di dekat
> pondok itu. Maka berdirilah saya di sampingnya, sekitar dua meter dari
> tempat duduk presiden. Rupanya pada saat itu semua orang saling
> percaya satu sama lain. Tak akan saling menyakiti atau berbuat
> macam-macam terhadap yang lain. Khususnya terhadap seorang presiden.
> Maka tak ada yang mengusik keberadaan saya yang begitu dekat dengan
> Presiden Sukarno. Jadi saya dapat mengamati beliau dengan leluasa,
> dari samping. Wajah beliau tidaklah terlalu mulus. Di pipinya sekilas
> seperti ada parut-parut yang kasar, entah bekas apa. Yang menarik,
> pipinya itu berwarna semu merah, bukan alami, tetapi seperti sengaja
> diberi semacam pulasan, yang dikenal wanita sebagai “rouge”. Sekali
> waktu beliau rupanya merasa kepalanya gerah, sehingga memerlukan
> mengangkat peci dan mengelap keringat di dahi. Pada waktu nampak betul
> kepala beliau yang sudah sulah, dari depan ke belakang.
>
> Sebelum penarikan selubung tugu, ada rombongan mahasiswa yang
> menyanyikan “Mars Darussalam”. Menurut saya, sih, mars itu “memble”.
> Tetapi presiden berikan tepuk tangan yang antusias.
>
> Setelah menarik selubung, presiden Sukarno menuliskan selarik “kata
> sakti” di papantulis yang sudah disiapkan, tentu saja menggunakan
> kapur tulis, “Tekad bulat melahirkan perbuatan nyata. Darussalam
> menuju kepada pelaksanaan cita-cita”. Seperti yang sering kita lihat,
> tulisan tangan beliau bagus dan selalu sesuai dengan teori “menulis
> bagus” dari “tempo doeloe”. Sayang hal itu tidak dilakukan lagi pada
> jaman ini, sehingga tulisan anak didik kita sekarang banyak sekali
> yang mirip “tulisan dokter”. (Ketika saya “mudik” di awal 2009 lalu,
> saya sengaja datang ke kompleks Darussalam, hendak melihat tugu itu
> kembali. Sayang, keadaannya cukup menyedihkan. Sepertinya tidak ada
> pemeliharaan. “Kata sakti” dari Sukarno itu nampak “ditransfer”
> asal-asalan ke sebuah lembaran marmer, tidak artistik samasekali).
>
> Pada waktu itu, saya sudah merasa senang betul, karena bisa berada
> begitu dekat dengan presiden. Hanya sebatas itu. Untuk coba uluk
> salam, misalnya, tak terpikirkan samasekali. Coba, kalau pada waktu
> itu saya punya pikiran seperti itu! Bayangkan, bersalaman dengan
> presiden, tentu berjuta rasanya.
>
> Tahun 1960, saya menyelesaikan STM. Dan pada 16 Nopember 1960, saya
> kembali “masup” Jakarta. (Dan kali ini rupanya untuk selama-lamanya.
> Sampai saat ini, saya tak pernah kembali lagi ke daerah asal. Sudah
> lebih dari setengah abad.)
>
> Saya juga kembali menumpang tinggal di rumah paman saya di Polonia.
> Dan coba kuliah di ATN, Akademi Teknik Nasional (yang sekarang sudah
> berkembang, kalau tidak salah, menjadi STTN, Sekolah Tinggi Teknologi
> Nasional). Tempat kuliah ATN, yang dilakukan sore hari, menumpang di
> STM Budut.
>
> O, ya. Kalau saya bilang saya tinggal di Polonia, itu sebetulnya agak
> berbau “bohong di dunia”. Yang benar, saya tinggal di Kampung Tanah
> Manisan, terletak di belakang Polonia. Sedangkan yang dimaksud dengan
> Polonia itu sendiri adalah kompleks perumahan di kiri kanan jalan
> besar, bernama Jalan Cipinang Cempedak I s/d IV. Di belakang kumpulan
> perumahan sisi utara, terdapatlah Kampung Kebon Nanas. Kampung Tanah
> Manisan berada di sisi selatan.
>
> Kompleks perumahan itu berasal dari jaman Belanda masih berkuasa.
> Banyak di antaranya didiami oleh staf employe BPM (Bataafsche
> Petroleum Maatschappaij), yang kemudian dilebur ke dalam Pertamina.
> Perumahannya sekaligus juga diambil alih. Maka sekarang para pejabat
> Pertamina yang mendiami rumah-rumah itu.
>
> Di tengah-tengah kompleks ada sebuah taman, yang bernama Taman Cornel
> Simanjuntak, mengambil nama komponis yang pada jaman revolusi telah
> menciptakan beberapa lagu penyemangat, antara lain “Maju Tak Gentar”,
> “Tanah Tumpah Darah”, “Sorak-sorak bergembira” dan beberapa lagi.
> Setahu saya, taman dengan nama komponis yang mati muda itu (25 tahun),
> sampai sekarang masih ada. Berbeda dengan Taman Chairil Anwar, yang
> dulu ada di Lapangan Merdeka. Setelah dikembangkan jadi Lapangan
> Monas, entah adakah dibangun taman yang menggantikannya.
>
> Di sekeliling Taman Cornel Simanjuntak itu berdiamlah beberapa pribadi
> yang namanya termasuk sering disebut-sebut. Seperti M. Yunan Nasution,
> seorang tokoh Masyumi, yang dijaman Sukarno pernah “diterungku”,
> bersama Mochtar Lubis, antara lain. Kakak Mochtar Lubis sendiri,
> Bachtar Lubis, juga berdiam di situ. Salah seorang puteranya, Idhan
> Dhanvantari Lubis, gugur bersama Soe Hok Gie di Gunung Semeru pada 19
> Desember 1969, dalam usia 19 tahun. (Saya tahu tentang Idhan ini,
> karena pada usia SMP-nya, bersama kakaknya – atau adiknya? – Idhat dan
> Teuku Syahrul – yang dipanggil Rully, kemudian menjadi ayah dari Teuku
> Rafly, yang pernah menikah dengan Tamara Berznsky – sering
> beranjangsana ke gadis-gadis seusianya di sekitar Polonia, termasuk ke
> adik sepupu saya). Satu lagi adalah keluarga jaksa Mangkudilaga,
> orangtua Benyamin Mangkudilaga.
>
> Tetapi yang paling menarik adalah keberadaan sebuah gedung cukup
> besar, yang terletak di utara taman. Gedung itu dikelilingi pagar
> tembok yang cukup tinggi. Orang tidak bebas sama sekali untuk
> melongok. Di bagian belakang, yang berbatasan langsung dengan Kampung
> Kebon Nanas, ada sebuah lapangan tenis. Tentu saja tertutup rapat juga.
>
> Pada suatu saat, tersiar berita, gedung itu menjadi tempat kediaman
> dari isteri Sukarno yang paling mutakhir dan paling muda sendiri,
> Jurike Sanger. Katanya dia baru tamat SMA, langsung dikawini Sukarno.
>
> Soal kawinmawin Sukarno ini memang menjadi bagian yang paling menarik
> dan menghebohkan dari kehidupan pribadinya. Dimulai ketika dia
> mengawini Hartini, orang dari Salatiga. Buntutnya, Fatmawati
> meninggalkan istana. Tetapi Sukarno rupanya bersikap “egp” saja,
> “emang gua pikirin”. Maka masih menyusul nama-nama Haryati atau Sari
> Dewi dan entah siapa lagi.
>
> Saya dengar-dengar, kalau Sukarno mendatangi Jurike Sanger, selalu
> dalam samaran. Entah bagaimana samarannya, tidak ada yang tahu. Yang
> jelas, waktunya selalu malam hari.
>
> Maka, bersama beberapa kawan, suatu malam saya memerlukan nongkrong di
> taman. Siapa tahu, bisa melihat Sukarno mengunjungi Jurike. Tetapi
> yang bisa kami lihat cuma datangnya sebuah VW kodok. Apakah didalamnya
> ada Sukarno? Entahlah.
>
> Saya jadi teringat momen di Kopelma Darussalam itu, ketika saya berada
> hanya dua meter dari Sukarno. Saya jelas bisa melihat parut-parut di
> pipinya. Juga kepalanya yang sulah. Dan rupanya momen itu tak akan
> terulang lagi untuk selama-lamanya.
>
> M. Joenoes Joesoef, 73.
>
> (menulis untuk “cegat” pikun dini).