JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia perlu mewaspadai arus balik modal asing (reversed capital inflow) pasca berakhirnya kebijakan uang longgar (quantitave easing-QE) yang diterapkan Bank Sentral Amerika Serikat.
"Bank sentral Indonesia perlu menyiapkan cadangan devisa sebagai antisipasi untuk meredam gejolak pasar uang jika tiba-tiba terjadi penarikan portofolio asing," ujar Ekonom Merril Lynch Chua Hak Bin dalam perbincangan dengan Kompas, Selasa (28/6/2011).
The Fed, Bank Sentral AS, mulai menerapkan QE tahun lalu dengan tujuan mempercepat pemulihan ekonomi negara Paman Sam yang ambruk akibat krisis finansial 2008. Pada prinsipnya QE dilakukan dengan seolah-olah ada penambahan uang milik bank sentral. Uang maya tersebut kemudian bergerak ke perbankan dan pasar modal melalui pembelian aset berupa saham, obligasi korporat, maupun obligasi pemerintah.
Langkah bank-bank sentral melakukan QE ini tidak terlalu bermasalah selagi pelaku pasar dan pengguna uang pemerintah tersebut masih mempercayainya. Masalahnya adalah ketika hal ini semakin sering dilakukan - maka nilai mata uang dari negara tersebut akan terus tergerus dengan cepat dan merugikan siapapun yang memegangnya.
Hak Bin mengatakan negara-negara emerging market di Asia Tenggara seperti Indonesia dan Thailand menikmati derasnya masuknya modal asing yang luar biasa dalam dua tahun terakhir. "Laju capital inflow mencapai empat kali lipat dibandingkan sebelum masa krisis, Ini mengkhawatirkan. Kepemilikan asing atas surat berharga negara milik pemerintah Indonesia sudah mencapai 30,6 persen," kata Hak Bin.
Posisi cadangan devisa Indonesia yang mencapai 100 miliar dollar AS dinilai cukup kuat untuk mengatasi goncangan. Cadangan itu diperlukan untuk menopang rupiah agar tidak jatuh terlalu dalam jika terjadi arus modal keluar dalam jumlah besar.