Potret KSM Jadi Tonggak Ekonomi Keluarga

APA yang pertama kita pikirkan ketika membayangkan sektor perikanan di wilayah pesisir? Nelayan tradisional dengan perahunya yang mengarungi ombak? Nelayan yang hanya mengandalkan kail yang semuanya lelaki? Sampai disini, sementara benar jika dunia perikanan dianggap dunia lelaki. Tapi jangan lupa bahwa fakta lain menyebutkan, kaum perempuan juga sangat menentukan perekonomian keluarganya melalui kehidupan sebagai nelayan.

Dalam konteks ini peran perempuan juga semakin tampak. Untuk nelayan tradisional di wilayah pesisir pantai Mimika, kaum perempuan sangat berperan sebagai pengumpul kerang dan kepiting. Sektor ini sering diabaikan karena pendapatannya dianggap kecil dibandingkan dengan pendapatan nelayan tangkap yang mayoritas dilakukan kaum lelaki. Padahal faktanya perempuan pengumpul kerang dan kepiting paling bertahan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga. Fenomena ini terjadi dilingkungan sejumlah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) binaan Biro Ekonomi Suku Kamoro di lingkungan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK).

Menurut pengamatan LAndAS ketika penghasilan nelayan tangkap dipengaruhi musim dan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), sebaliknya para perempuan pencari kerang dan kepiting tidak bergantung pada kedua faktor tersebut. Mereka relatif dapat terus memberikan penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari keluarga.

Menghidupi keluarganya
Kampung Timika Pantai terletak di pesisir pantai Mimika yang berhadapan langsung dengan lautan bebas Arafura. Karena letaknya tidak jauh dari pantai, mengakibatkan sumber penghidupan masyarakat di kampung ini lebih banyak dari sektor nelayan. Ketika musim pancaroba dan lautan arafura mengamuk, tak ada seorang nelayan tangkap yang berani melaut. Menghadapi tantangan alam itu, untuk mempertahankan mata pencaharian yang telah dijalankan sejak turun temurun, kaum perempuan langsung berperan dengan ’mengambilalih’ tugas kepala keluarga. Mereka menyusuri sungai dan menggarap hutan mangrove (mangi-mangi) guna menangkap dan mengumpul kepiting. Kegiatan pencarian nafkah ke luar kampung itu lebih banyak dilakukan perempuan sepanjang laut masih berombak. Jangan kaget bahwa dari sekian banyak kaum perempuan yang mencari kepiting itu, sebagian diantara mereka tercatat sebagai kelompok binaan Biro Ekonomi Suku Kamoro. Lantas mengapa kaum perempuan itu tidak menekuni usaha yang bersumber dari bantuan Dana Kemitraan yang dikucurkan LPMAK melalui program pengembangan ekonomi kerakyatan.

”Jangan tanya tentang uang itu karena kami kaum perempuan tidak biasa dilibatkan mengelola uang. Uang sebagai bantuan modal dan peningkatan keterampilan untuk KSM itu selalu disikat oleh bapak-bapak saja,” keluh Mama Gervasia ketika ditanya LAndAS mengenai perkembangan usahanya.

Menurut pengakuan Gervasia, saat ini ada delapan orang perempuan yang tergabung dalam kelompok penjual kepiting. Mereka mempraktekan pengetahuan dan keterampilan terkait penangkapan kepiting berikut penjualan hingga menabung secara sederhana dan belajar bersama cara berorganisasi. Memang usahanya belum mendapatkan keuntungan maksimal, namun mereka tak segan untuk terus belajar. Ketidakmampuan kelompok ini yaitu memasarkan langsung ke Pasar Swadaya Timika lantaran kendala transportasi. Biasanya mereka melepas kepiting tangkapannya kepada pembeli dari Timika.

”Karena mereka beli langsung dari kami maka harganya juga tidak terlalu mahal, per ekor bisa dijual Rp 5000 tergantung besar kecilnya,” kata Gervasia sambil menyebutkan sehari mereka mampu menangkap 50 hingga 100 ekor kepiting. Hasil penjualan itu sebagian ditabung, sebagian lagi untuk membiayai kehidupan keluarganya. Perempuan yang hanya lulusan SMP YPPK Lecoq D’armanville Kaokanao itu mengaku usaha yang dijalankan kelompoknya telah berjalan selama hampir setahun.

”Kami berharap bantuan LPMAK untuk program ekonomi jangan lagi diberikan kepada bapak-bapak saja tapi coba memperhatikan kaum perempuan juga. Buktinya, dana yang diberikan melalui bapak-bapak tidak menghasilkan apa-apa,” keluhnya.

Untuk mengumpulkan kepiting dan kerang, tidak membutuhkan keahlian khusus. Terpenting adalah ketelatenan untuk mengumpulkan. Ketersediaan kerang dan kepiting juga tidak dipengaruhi musim angin laut sebagaimana sektor nelayan tangkap. Secara alat, mereka juga dapat mengumpulkan kepiting dan kerang tanpa peralatan yang memerlukan BBM. Karakter ini membuat peran perempuan pencari kepiting dan kerang lebih bertahan untuk menghidupi keluarga di sepanjang musim. Peran mereka sebagai tulang punggung ekonomi keluarga dan tentu komunitasnya, sangat vital terutama bagi komunitas yang sepenuhnya menggantungkan sumber penghidupan pada sektor perikanan. (thobias maturbongs)