Kamis, 30 Juni 2011 | Editorial Berdikari Online Pasokan BBM langka di mana-mana. Di sejumlah daerah, SPBU dikerubuti oleh antrean kendaraan yang sudah menyemut. Biasanya, seperti juga sebelum-sebelumnya, ada dua kemungkinan yang mau terjadi: pembatasan pembelian atau kenaikan harga.
Selasa (28/6) lalu, beberapa saat sebelum laporan kelangkaan BBM terjadi di berbagai daerah, pihak Bank Dunia memperingatkan adanya ancaman kegentingan dalam perekonomian Indonesia. Salah satunya: bahaya tingginya subsidi akibat meroketnya harga minyak dunia.
Menurut Shubham Chaudhuri, ekonom senior di Bank Dunia, kenaikan harga minyak dunia telah mendongkrak harga jual minyak mentah di Indonesia, dari perkiraan semula sebesar 80 USD (Rp 689.520) menjadi rata-rata sebesar 113 USD (Rp 973.947). Kenaikan harga minyak dunia ini dengan sendirinya akan membuat subsidi BBM membengkak.
Kalau menyimak pernyataan Shubham Chaudhuri, maka kemungkinan besar kasus kelangkaan BBM ini akan menjadi "drama palsu" untuk mencari legitimasi menaikkan harga. Dan, kalau memang benar begitu, maka kebijakan pembatasan BBM bersubsidi pun dalam jalur yang sama untuk satu tujuan: kenaikan harga.
Ada sebuah keyakinan `absolut' di kalangan penganut neoliberal, bahwa keberadaan subsidi BBM justru merupakan pemborosan. Katanya, dengan menghemat subsidi BBM, pemerintah bisa membangun proyek yang lain. Ini salah satu bentuk kesesatan berfikir para panganut neoliberal.
Kesesatan berfikir lainnya adalah bahwa subsidi BBM sekarang ini lebih banyak dinikmati oleh orang kaya alias tidak tepat sasaran. Karenanya, supaya kesalahan sasaran ini bisa diatasi, maka pemerintah pun membatasi subsidi BBM; BBM bersubsidi hanya diberikan kendaraan roda empat (mobil) pelat kuning (angkutan umum), kendaraan roda dua (motor) dan kalangan nelayan yang dapat mengakses BBM jenis premium serta solar.
BBM merupakan kebutuhan vital rakyat dan industri nasional. Hampir sebagian besar pengeluaran rumah tangga adalah untuk membeli bahan bakar, baik untuk keperluan aktivitas (kendaraan, memasak, dll) maupun untuk keperluan usaha (kapal motor, traktor, dll). Belum lagi, kalau subsidi di cabut maka akan terjadi kenaikan biaya layanan publik, seperti transportasi, harga-harga barang, dan lain-lain. Hal itu tentu akan semakin menggerus ekonomi rakyat. Jika pemerintah memberikan subsidi pada BBM, maka hal itu akan sedikit melonggarkan ikat pinggang rakyat dan industri nasional dalam lapangan usahanya.
Selanjutnya, bahwa subsidi BBM selama ini lebih banyak dinikmati orang kaya, itu juga merupakan kesimpulan yang tidak benar. Pada kenyataannya, sebagian besar subsidi BBM sebetulnya dinikmati oleh golongan rakyat berpendapatan menengah ke bawah. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2010 yang dilakukan oleh BPS, sebanyak 65 persen BBM bersubsidi dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah dengan pengeluaran per kapita di bawah 4 dollar AS dan miskin dengan pengeluaran per kapita di bawah 2 dollar AS. Sementara itu, 27 persen digunakan kalangan menengah, 6 persen kalangan menengah atas dan 2 persen kalangan kaya.
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa pembatasan subsidi BBM hanya akal-akalan pemerintah dan tangan-tangan imperialis. Tujuan mereka adalah melepas penjualan BBM Indonesia ke dalam mekanisme pasar.
Bukankah dengan jumlah penduduk 230 juta orang, itu merupakan potensi pasar yang besar bagi produsen BBM. Kebetulan, jauh sebelumnya perusahaan asing sudah mengusai ladang-ladang minyak dan produksi minyak mentah di dalam negeri.
Jadinya, kalau harga jual BBM dilepas dengan harga pasar dunia, maka yang menumpuk keuntungan adalah perusahaan minyak dunia juga. Lagi-lagi, karena ditipu oleh pemerintah kita yang bermental inlander, bangsa kita harus menanggung penderitaan yang tiada tara.
Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com