Dua Wajah Kemiskinan

---------- Forwarded message ----------
From: sunny
Date: Sun, 3 Jul 2011 21:45:10 +0200
Subject: Dua Wajah Kemiskinan
To:
[dpr-indonesia]

http://www.siwalimanews.com/post/dua_wajah_kemiskinan

Monday, 27 June 2011
Dua Wajah Kemiskinan


Salah satunya dengan mengutak-atik patokan yang dijadikan acuan untuk menghitung jumlah orang miskin. Versi pemerintah, yang disebut orang miskin adalah mereka yang berpenghasilan Rp 7.000 per hari atau sekitar Rp 210 ribu per orang per bulan.

Patokan itu jauh di bawah acuan yang digunakan kebanyakan lembaga internasional yang menetapkan garis kemiskinan di US$1-US$2 atau Rp 8.500-Rp 17.000 per orang per hari.

Patokan itu juga jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Kabupaten (UMK) terendah Rp660 ribu per bulan yang sudah sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Tidak mengherankan kalau pemerintah dituding tidak realistis. Patokan untuk menghitung orang miskin terkesan lebih banyak mempertimbangkan aspek politis ketimbang hitung-hitungan ekonomi yang rasional.

Garis kemiskinan sengaja dibuat rendah agar jumlah orang miskin tidak melonjak. Sebab, menaikkan parameter kemiskinan dengan menyesuaikan kondisi saat ini dikhawatirkan menaikkan jumlah orang miskin.

Pemerintah yang mementingkan citra pasti alergi dengan hal itu. Membuka angka valid kemiskinan dianggap sama saja dengan menyeret turun popularitas di mata rakyat.

Kalau menggunakan acuan angka kemiskinan internasional, jumlah orang miskin pasti melonjak drastis dari angka yang diklaim pemerintah.

Pemerintah mengatakan saat ini jumlah orang miskin di Indonesia 31,023 juta atau 13,3% dari total jumlah penduduk Indonesia.

Angka tersebut menjadi alat propaganda politik sekaligus alat ukur keberhasilan kinerja. Realitas kemiskinan pun menjadi nomor dua.

Termasuk realitas itu ialah terus membeludaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri kendati harus menyabung nyawa. Kelak, jika langkah moratorium penempatan TKI benar-benar diterapkan, jumlah pengangguran pun kian membengkak.

TKI itu bakal menghadapi situasi kemiskinan yang akut karena tidak diurus negara. Bagaimana mungkin pemerintah bisa menyusun program yang tepat sasaran dan mampu menyejahterakan kalau potret nyata kemiskinan disembunyikan? Padahal, tolok ukur sebuah negara disebut naik kelas dalam tataran global adalah sejauh mana negara itu mengatasi kemiskinan. Itu karena kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan, kesulitan mengakses pelayanan kesehatan dan pelayanan publik, serta kurangnya lapangan pekerjaan yang dapat memberdayakan mereka.

Nasib orang miskin di negeri ini seperti dua sisi mata uang yang sangat kontras. Dalam pidato politik, mereka jadi alat untuk menaikkan citra, tetapi di satu hari lain, mereka disembunyikan dan dianggap aib karena bakal menjatuhkan kinerja. (*)