Keuangan Daerah Jebol, Pemerintah Pusat Lepas Tangan

JAKARTA - Pemerintah pusat tampaknya mau lepas tangan soal kabar terancam bangkrutnya beberapa pemerintah daerah (pemda) akibat jebolnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN). Pemerintah pusat menyerahkan nasib daerah-daerah tersebut ke tangan pemda setempat dengan alasan otonomi daerah.

Dalam sebuah perbincangan dengan SH beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, Marwanto Harjowiryono, mengaku tak bisa berbuat banyak menghadapi persoalan tersebut.
Menurutnya pemerintah pusat dalam era otonomi daerah dengan prinsip desentralisasi, termasuk soal pengelolaan keuangan, tak bisa mencampuri kebijakan yang diterapkan pemda.
Ia menjelaskan, manajemen hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah hanya terjadi saat pemerintah pusat memberikan transfer dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Bagi Hasil (DBH).
“Jadi, kewenangan daerah kan mengelola keuangan daerah itu. Mengelola uang itu tidak dalam konteks diatur oleh pemerintah pusat, karena daerah kan punya eksekutif dan punya otonomi. Jadi sepenuhnya kewenangan mereka untuk mengelola uangnya,” ujar Marwanto.
Karena kebijakan pengelolaan keuangan yang otonom tersebut, menurut Marwanto, pemerintah tak punya kuasa lagi mengatur keuangan pemda. “Ada komunikasi, ada asistensi. Tapi kan terbatas kewenangannya, tidak bisa dipaksakan. Itu masalahnya,” tuturnya.
Seperti diketahui, defisit anggaran mendekati kebangkrutan yang dialami sejumlah daerah di Indonesia dinilai karena tak adanya aturan yang ketat soal pengelolaan anggaran.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis data tentang 124 pemda yang terancam bangkrut. Alasannya pada APBD 2011, 124 daerah itu memiliki belanja pegawai di atas 60 persen, sedangkan belanja modalnya hanya sekitar 1-15 persen.
Bahkan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tasikmalaya kehabisan dana dalam APBD-nya di 2011 ini dan berencana menjual aset yang berada di wilayah Kota Tasikmalaya untuk mendapatkan tambahan dana.
"Saat ini kami tidak punya anggaran lagi untuk mendanai banyak kepentingan masyarakat. Bahkan dana cadangan sekitar Rp 100 miliar per tahun sudah habis," kata Bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum.
Marwanto mengatakan penjualan aset atau privatisasi sah-sah saja dilakukan jika untuk menutup defisit anggaran. Pasalnya, langkah tersebut diperbolehkan sebagai jalan pembiayaan. “Defisit itu kan bisa ditutup dari macam-macam.
Bisa dari pembiayaan dalam negeri, obligasi atau privatisasi. Kalau di pusat itu kan bisa jual bond atau jual aset. Apakah privatisasi atau penjualan aset, itu tidak dilarang. Itu kan jadi suatu alternatif, bisa menurut aturan. Tapi apakah sehat atau tidak, itu yang jadi masalah,” tuturnya.
Kebangkrutan yang dialami daerah tak hanya kali ini saja terjadi. Baru-baru ini saja kejadian yang sama menimpa beberapa kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
“Desentralisasi keuangan sejauh ini memang hanya menekankan pada pengeluaran dan nyaris tanpa intervensi pusat terutama dari Dana Alokasi Umum (DAU),” ujar Direktur Eksekutif Komite Pengawasan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Agung Pambudi.
Menurut pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih, kendati sudah menganut prinsip desentralisasi, pemerintah pusat perlu membuat aturan ketat mengenai hal itu. “Pemerintah pusat mestinya mengatur daerah-daerah supaya prudent dalam mengelola keuangannya. Kalau tidak prudent maka bisa menyebabkan krisis ekonomi,” katanya.
Pemerintah, lanjutnya, harus berkaca kepada pengalaman dari Argentina yang mengalami krisis ekonomi hanya karena utang pemdanya yang besar. “Dengan adanya otonomi daerah, untuk gaji maupun insentif fasilitas yang diberikan kepada karyawannya atau pejabat daerah besar. Harusnya anggaran 70 persenan ini tidak terjadi karena anggaran daerahnya bisa habis,” tuturnya.
Agung Pambudi mengatakan, pemerintah pusat harus tegas menerapkan prinsip penghargaan dan hukuman (reward and punishment) dalam kasus seperti ini, selain memberikan bantuan teknis. “Sebagai punishment pemerintah pusat bisa meminta beberapa pos anggaran ditunda sampai ada perbaikan memadai,” kata Agung.
Sayangnya, Marwanto tidak bisa begitu saja menerapkannya. “Reward dan punishment itu bagi daerah yang memiliki kinerja bagus sebetulnya atau daerah-daerah yang karena kondisi dan kemampuan fiskalnya rendah itu dapat support,” tuturnya. 

Penulis : Faisal Rachman